VULGAR TAPI PERLU
Bagaimana menyikapi dan memperbaiki LGBT??
Barusan saya ikut training menyikapi dan memperbaiki pwnyimpangan LGBT,
pematerinya psikolog lulusan UI Dr. Ani dan Prof. Euis ngeri sekaligus
bikin sedih. Musibah paling bahaya kita gak sadar dalam bahaya ini.
Sebelum saya memasuki ruangan, karena jam menunjukkan pukul 12 saya dan
teman-teman saya (dzah rohmi dan dzah rani) sholat dimasjid, kemudian
terlihat sosok peremupuan setengah baya menyapa kira dan bercerita
sambil menitikkan air mata tentang apa yang terjadi didepan matanya
telah menimpa 11 muridnya terkena LGBT dan sudah terdeteksi 2 thn yang
lalu namun guru - guru lain menganggap hal itu masih sepele dan belum
teridentifikasi LGBT. Begitulah beliau kemudian mengikuti training
pencegahan LGBT tersebut karena beban yang ia emban selaku Kepala
Sekolah membuatnya tak bisa diam melihat hal yang mengganjal setelah
melihat 11 anak tersebut gelagat dan kelakuannya aneh, dengan kepergok 1
bulan tidak sholat alasan mens, dan setiap sholat membuat
kumpulan-kumpulan dilantai atas dengan saling memegang, menyentuh dan
tatapan tidak wajar.
Setelah kita simak kisah beliau kita menuju keruang dan mendengarkan
training dari kedua pemateri.
Jika dikalkulasikan LGBT diindonesia ini sudah mendarah daging, sering
membuat kampanye, komunitas FB,group LGBT, Kampung LGBT, bahkan Ketika
para guru besar dan psikolog besar adakan gelar debat dengan para hakim
pendukung LGBT maka pihak kontra LGBTpun kalah telak karena tidak
tercantumnya pelaranggaran LGBT dalam UUD 45. Sehingga tidak mau
menumbuhkan orientasi ketertarikan sexual kemudian dijadikan identitas,
supaya diterima sebagai identitas harus kumpul dengan kelompoknya dan
komunitasnya. Jadi sebenarnya yang kampanye itu sedikit, tapi karena
didanai besar gitu ya, dan kemudian dia cari nih yang namanya SSA (Same
Sex Attraction) yang bisa digiring jadi LGBT dan diterima oleh legalitas
hukum.
Kemudian bu ani menjelaskan tentang tahapan kesadaran masa perkembangan
dan pemantapan laki - laki dan perempuan yang laki - laki umur 05 th
harusnya tegas, gagah, tidak letoy dan yang perempuan kemayu, suka
menari, feminim. tiba-tiba merasa berbalik hingga dia mencapai umur 16th
apabila tidak ditindaklanjuti dan tidak peduli maka akan menimbulkan
deppression, dilema, dan bingung gelagapan.
Dan salah satunya yang bikin heboh ketika bu ani mengatakan "salah satu
virus yang paling cepat adalah pornografi nih pak, bu, ini yang
dilakukan gay hunter bukan hanya job hunter pak sekarang. jadi mereka
dibayar gratis itulah cara mereka menanamkan pada video, buku, dan film
porno agar memangsa para anak-anak dan kita semua untuk digiring kepada
SSA!! Dan Ingat pak, bu, SSA belum sampai LGBT, tapi mau LGBT!! dan ini
bahaya, tapi bu. setelah mereka berjuang sesuai peofesi mereka dengan
tulus ikhlas. Tiba-tiba mereka bertobat setelah menenggelamkan 100
korban pak, bu. sampai gampangnya ada anak datang dibioskop temannya
diplorotin, dia masuk keoral sex, jadi homo.
Kepribadian itu membentuk diri kita, mau pribadi LGBT atau Tidak
kira-kira kepribadian seseorang itu dari keturunan atau tidak??? Kata
beliau
"Ternyata rahasianya, kepribadian itu terbentuk dari keturunan cuma 2% -
20% selanjutnya 80% - 90%nya adalah KETULARAN, mau judulnya dari
lingkungan, mau judulnya dari pola asuh, video yang lainnya intinya
judul utamanya ketularan!! Kuncinya adalah PEMBIASAAN!! Pembiasaan yang
diulang-ulang, syaratnya adalah konsisten.
Jadi antara orang tua, musyrif musyrifah harus sama visi misi baiknya
dan konsisten!".
Kata beliau "Jadi pertanyaan saya sesungguhnya adalah merubah
kepribadian itu susah atau gampang?? Ya, gampang tinggal apa yang kita
tularkan yaitu Keteladanan yang Baik
Caranya selama 5 tahun pertama anak itu merekam apa yang ia lihat dan
dengar, 5-8x mereka belajar dari orang dewasa caranya misal kita
sholat, imamin anak suruh berdiri, ya kan jadi anak itu cukup
diteladankan dan dibiasakan dengan pembiasaan yang baik.
Kira - kira apakah bapak ibu punya kurikulum dirumah??
Pola itu cukup terjadi 2 bulan, sehingga otak membuat sirkuin, supaya
gampang ibu ani memberikan pertanyaan
"Apakah ibu, bapak semua ini punya otak??? Nah, secara logika, pribadi
kita yang genrenya sama sekaligus lgbtpun punya otak. Jika punya otak
maka keinginan menjadi baik itu pasti banyak, tinggal.. mau tidak
berubah?? Gampang tidak diubah??"
Mengubah kepribadian itu maksimalnya umur 15th, anak - anak kita yang
SMP itu masih mudah diubah beda dengan yang umurnya sudah 16 th ke atas,
apabila kita gagal pada masa-masa itu maka terjadilah deppression dan
tidak bisa diubh kepribadiannya terjadilah SSA.
Anak harus berani meminta pertolongan, ini yang harus kita ajarkan pada
anak kita. ada anak teman bu ani dari bandung yang diancam dan ditekan
hingga diculik menjadi LGBT!
Anak harus punya ketahanan harga diri, harus punya rasa geli sehingga
jika ada anak lagi ngangkot disentuh pahanya, pipinya punya nyali buat
teriak. Mata buat melotot tanda dia merasa harga dirinya dijatuhkan.
Sebagaimana orangtua harusnya ngeh atas apa yang dilakuin anak
terlebih diusia 6-10.
"Sepak bola berdua misal bahkan ada sembunyi disemak belukar ternyata
main sodomi dengan sendok". astaghfirulloh.
"nak lagi apa?"
"lagi didapur bun"
"ngapain"
"maen bun"
"maen apa? "
"prosotan bun"
"ooohhh" eeeeeh gak taunya prosotin celana temennya.
Disini peran ortu pada masa bibit-bibit itu mulai tumbuh harus lebih
intens lagi menjaga anak-anak.
Dan salah satu ciri perubahan kepribadian anak adalah yang awalnya ceria
jadi pendiam, periang jadi menyendiri inipun juga perlu perhatian
khusus, dikhawatirkan terlambat dalam pola asuh hingga tidak menyadari
apabila hal negatif.
Kemudian beliau melanjutkan dengan cerita, bahwa anak temannya sendiri
dibandung dipergoki 9 santri dilecehkan oleh seorang ustadz hafizh 30
juz sudah mempunyai 5 anak dan itupun setelah sekian lama berita
terpendam dan membungkam karena para santrinya tidak ada yang buka mulut
akibat *tekanan dan ancaman modus homosek* dan akhirnya terungkap
setelah beberapa bulan.
Tanggung jawab terbesar kita siap mendengarkan curahan anak-anak dengan
penuh perhatian dan kasih sayang, kadang-kadang problem utama dan
kesalahan terbesar kita adalah respon pertama kali yang kita kasih agar
anak mengakui itu menentukan sekali dengan masalah yang mereka hadapi,
apakah masalah langsung selesai atau semakin rucam dan berkelanjutan??
Lanjut beliau
"Jadi jangan sampai marah yang didahuluin, sensi yang diekspresiin,
kata-kata kotor yang dilontarin, melainkan biarkan anak itu ngomong
bukan menasehati tapi *MENGGALI* kemudian bagus apa nggak tanya, dan
barengi kontak mata, memberi kepercayaan penuh pada sang anak. Pastikan
pembicaraan secara sadar, dan rilex hingga anak mengakui. Karena bisa
jadi kehisterisan kita menimbulkan efek yang berkelanjutan."
Kemudian beliau lanjut cerita "Ada anak perempuan dilecehkan oleh
gurunya, digre*ek2 dan diperk**a, apa yang ia alami tersebut dia
berusaha melupakan dan sudah memaafkan pelaku pemerkosaannya tapi yang
ia tidak maafkan selama puluhan tahunnya adalah *SANG IBU*, trauma
setelah ibu mengatakan dan berteriak "Gimana nanti kamu pas besar!!!
Siapa laki - laki yang mau nikahin kamu nanti??!!"
Apa yang beliau paparkan, shocking banget buat para orangtua yang hadir.
Pemaparan tentang kesalahan-kesalahan komunikasi orang tua pada anak,
bicara terlalu cepat,
bicara terlalu banyak, (ngomel) yang tidak perlu, tanpa sadar berbohong,
mengkritik, mengenggurui, dll.
Nah, kemudia kita dijelaskan tentang sepak terjang konselor yang
menerima klien yang datang dengan Pi, Pi disini bukan Sick, bedanya jika
Pi adalah derita, namun sick adalah sakit, sakit yang dimaksud adalah
kefisik, semakin kita merasakan derita maka yang kiita rasakan adalah
semakin sakit, kunci dari konseling ini adalah diasosiasi Pi nya dulu
dari traumatic yang dimiliki oleh klien.
Misal, kita mengatakan Dengan assosiasi SSA "Oh, kan kamu belum
melakukan padahal kalau kamu belum melakukan itu bagi kamu pahala lho,".
Sahut beliau "nahh kita kasih penenang-penenang dan celah agar dia
keluar dari virus tersebut dan menceritakan trauma-traumanya atau
pengalamannya sehingga bisa kita FREMMING dengan pemantapan dan
keyakinan sehingga tidak terjerat lagi pada hal - hal yang sudah
dilarang".
Dari semua ini kita bisa menyimpulkan bahwa hakekatnya anak kita kembali
pada kita sebagai orangtua, dan masa-masa penularan terbaik adalah
masa-masa bersama KELUARGA dan konselor terbaik adalah KELUARGA
Sejatinya kita menitipkan kesekolah bertahun-tahun pasti akan kembali ke
KELUARGA.
Semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang diridhoi Allah SWT.
Wallahu a'alam Baarokallohufikum
Megamendung, 25 Feb 2018. Ihda Hajarul Mufidah
Komentar
Belum Ada Komentar